Deru mesin diesel minibus warna Silver,
berkapasitas 12 orang, berubah menjadi musik sepanjang perjalanan wisata
kami ke Pulau Lihaga. Kami berangkat dari Moyaporong, salah satu spot
wisata religi bagian dari Bukit Doa di Tomohon sekitar pukul 9 pagi
sehabis sarapan.
Melihat birunya langit, saya dan rombongan yang
berjumlah 10 orang tak langsung mengarah ke pulau tapi menuju ke Selatan
untuk singgah ke Danau Linow, Lahendong. Tak kurang dari 20 menit
menikmati danau vulkanik biru bergradasi hijau putih, kami kemudian
bergerak ke pulau Lihaga.
Ke pelabuhan Serei di Kecamatan Likupang, Minahasa
Utara itulah rute yang akan kami tempuh. dan dalam waktu dua jam lebih
beberapa menit kami tiba di tujuan. Lamanya perjalanan tak membuat kami
bosan karena sepanjang perjalanan kami ngobrol.
“Pak Bambang dan Bu Ira, sudah beberapa kali ke
Manado?” tanya Jeff teman saya. “Kalau saya baru pertama kali datang ke
Manado. Beda dengan bu Ira. Seringkali.” Jawab Pak Bambang dan sementara
saya lihat wajah Ibu Ira tersenyum sambil mengiyakan ucapan Pak
Bambang.
“Pulau Lihaga itu persisnya ada di mana sih?” ganti
Pak Bambang bertanya kepada kami. “Lihaga, kalau dalam peta, berada di
ujung atas pulau Sulawesi yang berbentuk huruf K. Kalau disambung bisa
sampai ke General Santos, Davao, Philipina. Dan sederet dengan Pulau
Sangir Talaud, Talise, Bangka. Gangga, pulau terdekat dengan Lihaga.”
Jawab saya ikut menjelaskan.
Ke Lihaga bisa lewat laut. Tak jarang wisatawan
datang dari Bunaken dengan kapal bermesin besar agar jarak tempuhnya
bisa lebih singkat. Satu jam kira-kira perjalanan dari Bunaken ke
Lihaga.
Dipertigaan Sukur, kami belok kekiri. Dari sini,
terus saja tanpa belok ke arah TPI, pelabuhan Likupang. Setelah itu,
terus menuju ke Serei. Jalan aspal menuju ke Serei sudah
mengelupas sehingga laju minibus diperlambat agar tak terlalu keras
goncangannya. Setibanya di pelabuhan, kapal perahu nelayan yang telah
dipesan oleh Jeff teman saya sudah menunggu kedatangan kami.
Tak lama setelah barang bawaan kami seperti nasi
kuning, air mineral, kukis, dan tas-tas masuk dalam kabin, deru suara
mesin kapal terdengar. Kami bawa bekal karena di pulau tidak ada orang
jual. Pelan namun pasti kapal dengan dua mesin dan berkapasitas
penumpang hingga 25 orang, serta beratap bergerak tinggalkan dermaga.
Indahnya pemandangan laut menggerakkan tangan saya
untuk menghidupkan kamera. Agar dapat obyek foto terbaik, saya duduk di
atap kapal. Dari atap samar-sama Lihaga sudah terlihat. Teriknya
matahari terasa membakar kulit, tetapi tak menyurutkan niat saya untuk ambil foto. Tiga teman saya ikut pula naik ke atap.
“Pak Rory, berapa sewa kapal ke Lihaga?” tanya saya
seusai foto-foto. “Enam ratusan ribu. Tergantung juga permintaan. Kalau
ada order keliling pulau, ya nanti nego, karena banyak habiskan minyak.
Nambah ongkos lagi” Jawab pak Rory, salah satu awak kapal. Dari
percakapan, ternyata pak Rory sudah biasa dipesan wisatawan yang akan
datang ke pulau Lihaga. Hari libur, Jumat dan Sabtu paling banyak
rombongan datang wisata ke pulau yang luasnya 8 ha.
Sekitar lima belas menit kami sudah mendekati
pulau. Sebelum berlabuh, kami keliling pulau itu melihat keindahan bibir
pantainya yang sebagian berupa batu karang. Tak kurang dari 7 menit,
kami sudah keliling pulau. “Batu karang itu untuk menahan ombak tinggi
dari arah Timur karena memang langsung berhadapan dengan perairan lepas
Laut Sulawesi” jelas pak Rory sambil menujuk pantai berkarang.
Akhirnya kami berlabuh sebelah Barat pulau Lihaga.
Begitu turun dari kapal, hamparan pasir putih lembut seperti “powder”
sambut kedatangan kami. Airnya yang jernih langsung menggoda niat kami
untuk langsung berenang atau snorkeling.
Setelah menurunkan barang bawaan dan meletakkan di
meja kayu tak jauh dari bibir pantai, saya pun melanjutkan hunting foto
lanskap alam sekitar pulau. Terpesona indahnya, tak terasa saya sudah
habiskan banyak frame foto.
Saya lihat teman-teman saya berkejar-kejaran di
pinggir pantai sambil berusaha saling membasahi dan mendorong hingga
jatuh bergelimpangan antara pasir putih dan air laut. Sementara yang
lain pun tampak berenang di tempat yang tidak dalam. Yang bawa peralatan
snorkeling langsung berburu pemandangan di dasar laut. Yang lain duduk
di kursi bambu menikmati alam dan ada yang jalan-jalan sepanjang pantai
sambil berfoto pakai hapenya. Udara panas tak begitu dihiraukan begitu
menyentuh air laut dan pasir putih pantai.
Aktifitas itu terhenti sejenak untuk makan siang
bersama. Nasi kuning dan kue akhirnya mengganjal perut lapar saya. Hanya
enak dan lahap, yang saya rasakan. Setelah makan, ada yang masih
melanjutkan berenang sambil bersendau gurau.
Di pulau itu sudah tersedia toilet dan ruang
ganti. Satu rumah kayu ukuran kecil juga ada. Katanya kadang ada
wisatawan yang menginap. Keterbatasan air bilas, membuat kesulitan bagi
yang mandi setelah berenang. Tapi bagi teman-teman saya bukan halangan
karena sesampai di rumah ia akan langsung mandi. Selain itu, di pulau
kini ada penjaganya. Membersihkan pulau dari sampah dan
membantu kebutuhan para pengunjung, menjadi jasa mereka. Untuk jasanya
ini kami memberi uang tinggalan secukupnya.
Sekitar jam tiga sore lebih saat teriknya panas
matahari tak terlalu terasa lagi, kami memutuskan untuk pulang supaya
sampai di Tomohon tidak terlalu malam. Dalam perjalanan pulang,
keindahan pulau Lihaga menjadi sentral percakapan kami.
“Jika dikelola dengan baik dan ditambah dengan
fasilitas wisata seperti penginapan, restoran dan perlengkapan wisata
bahari seperti jet sky, diving, dan snorkeling. Pasti banyak yang suka
datang.” Kata pak Bambang, konsultan pariwisata dan hotel dari Surabaya.
Pulau itu alami dan belum dikelola dengan baik. Meski
demikian sudah banyak yang datang ke pulau itu untuk berbagai kegiatan
seperti outing, family gathering, hunting foto dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar